Gereja dan Multikulturalisme
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
ADI HERIANTO RAJAGUKGUK
KELAS XII MIA 1
SMAN 1 SIBOLGA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Umumnya gereja-gereja di Indonesia adalah
gereja multikultur, yaitu gereja yang dibangun di tengah jemaat yang terdiri
dari berbagai suku, budaya, adat istiadat, kebiasaan maupun geografis yang
berbeda. Gereja di Indonesia adalah gereja yang terbuka terhadap keberagaman.
Di kalangan umat Kristen, nampaknya multikultur bukanlah masalah yang harus
dipertentangkan. Kecuali dalam hubungan antarumat bergama, sebagian umat
Kristen masih dipengaruhi oleh fanatisme sempit dan prasangka. Hal itu
dipengaruhi antara lain oleh pengalaman konflik, kekerasan, dan sebagainya.
Dalam hubungan internal jemaat kristen, perbedaan budaya, adat istiadat, dan
geografis bukan hanya diterima namun juga diakomodir. Hampir semua gereja
mengadaptasi budaya dalam liturgy dan perayaan-perayaan gerejawi.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
multikulturisme dalam Alkitab ?
2.
Bagaimana
hubungan Gereja dengan Multikulturisme ?
3.
Apa yg
dapat kita pelajari dari Yesus sebagai teladan dalam konteks Gereja dan
Multikulturisme ?
4.
Apa saja tantangan yang dihadapi Gereja dalam
mewujudkan Multikulturalisme?
C.
Tujuan
1.
untuk
mengetahui apa itu Multukulturisme dan hubungan nya dengan Gereja.
2.
Mengajarkan
teladan Yesus dalam konteks gereja dan Multikulturisme.
D. Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini adalah dengan menggunakan kajian pustaka,
yakni dengan mengkaji buku-buku yang sesuai dengan topic Gereja dan
Multikulturalisme. Penulisan makalah ini juga dibuat dengan sumber-sumber
refrensi terpercaya seperti buku agama K13 dan internet.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bagaimana Multikulturalisme dalam Alkitab?
Perjanjian Lama mencatat sejarah perjalanan
umat Israel sebagai umat pilihan yang dalam kehidupan mereka bergaul dan
berjumpa dengan bangsabangsa lain yang memiliki budaya dan agama berbeda. Hal
itu nampak dalam hubungan antara bangsa Israel dengan bangsa-bangsa yang ada di
Kanaan yang menimbulkan berbagai pengaruh. Bangsa Israel berhadapan dengan
kemajemukan budaya bangsa di sekitarnya. Namun ketika bangsa Israel
bersosialisasi dengan bangsa di sekeliling, mereka tidak selektif. Akibatnya,
budaya-budaya bangsa sekitarnya yang negatif membawa bangsa Israel pada
penyembahan berhala.
Begitu pula di zaman Perjanjian Baru, melalui
pengalaman dijajah oleh bangsa lain, Israel pun harus bergaul dan hidup bersama
bangsa-bangsa lain. Misalnya, Bangsa Persia, Yunani dan Romawi. Pada zaman
Tuhan Yesus, Dia membawa pemikiran baru tentang pentingnya inklusivisme. Yesus
tidak menutup diri dari kemajemukan kebudayaan. Yesus tidak memandang latar
belakang budaya, suku maupun ras, Ia berkenan menerima semua orang dalam
pergaulan multikultural. Ketika seorang perempuan Kanaan hendak meminta tolong
(Matius 15:21-28) dan seorang Perwira Roma meminta kesembuhan (Lukas 7:1-10),
Yesus menjawab akan kebutuhan mereka dan menolong mereka. Ini menunjukkan bahwa
Yesus sendiri menghargai keberagaman dan perbedaan budaya.
Dalam Kitab Kisah Para Rasul 2:41-47
orang-orang yang berasal dari berbagai daerah dan budaya yang berbeda
mendengarkan khotbah Petrus. Pada waktu itu ada tiga ribu orang bertobat, serta
menjadi model gereja pertama. Dalam perkembangan selanjutnya, perbedaan bangsa
dan budaya menyebabkan perselisihan, yaitu antara jemaat yang berbudaya Yunani dan
Yahudi. Perbedaan budaya antara Yahudi dan Yunani menimbulkan banyak persoalan
dalam beberapa jemaat, seperti di Roma, Korintus, yang menimbulkan perpecahan
dan perselisihan mengenai kebiasaan-kebiasaan jemaat (1 Korintus 11). Namun,
Paulus menegaskan bahwa sekarang tidak ada lagi orang Yunani atau Yahudi, tidak
ada orang bersunat maupun tidak bersunat, tidak ada budak atau orang merdeka.
Semua orang sama di hadapan Allah, semua menjadi satu jemaat dimana kepalanya
adalah Yesus Kristus.
Hope S.Antone menulis bahwa dalam Alkitab
ditandai oleh kemajemukan atau keanekaragaman budaya dan agama . Saat Abraham
dipanggil di tanah Haran masyarakat amat beragam dan tiap suku memiliki
pemahaman terhadap “Allahnya” sendiri. Demikian pula di tanah Kanaan di tempat
dimana Abraham dan Sara hidup sebagai pendatang.
Menurut Hope di tanah Kanaan setiap suku memiliki pandangannya sendiri terhadap
yang ilahi. Di tengah situasi seperti itulah Abraham dan Sara dan bangsa Israel
membangun kepercayaannya terhadap Allah yang mereka sembah. Dalam konteks
tersebut Yesus juga ditandai oleh keberagaman, Yesus tumbuh dalam tradisi iman
komunitas-Nya. Dalam tradisi agama Yahudi sendiri. Di zaman setelah Yesus,
kekristenan tumbuh dan berakar dalam budaya Yahudi dan Yunani helenis. Pemaparan
tersebut telah memberikan gambaran bahwa multikultur bukan merupakan kenyataan
abad kini atau baru ada di zaman kini. Multikultur adalah kenyataan yang sudah
ada sejak dulu. Allah menciptakan manusia dalam keberagaman dan menganugerahkan
hikmat dan kemampuan untuk saling beradaptasi membangun kehidupan.
B. Gereja Kristen di Indonesia adalah Gereja Multikultur
Konsep masyarakat multikultural dan
multikulturalisme secara subtantif tidaklah terlalu baru di Indonesia. Jejaknya
dapat ditemukan di Indonesia, melalui prinsip negara ber-Bhinneka Tunggal Ika
yang mencerminkan bahwa Indonesia adalah masyarakat multikultural tetapi masih
terintregrasi dalam persatuan .
Bagi gereja-gereja di
barat, mutltikulturalisme harus melalui perjuangan berat karena masyarakat
barat pada mulanya adalah masyarakat monokultur, mereka memiliki budaya
yang mirip atau dapat dikatakan sama. Di sisi lain, era kolonialisme menyebabkan
bangsa-bangsa barat bersikap eksklusif terhadap budaya, adat istiadat,
kebiasaan bahkan kekuasaan. Akibatnya bangsa-bangsa di luar mereka dipandang
rendah. Pemahaman seperti itu turut mempengaruhi kondisi gereja, ketika agama
Kristen dan Katolik disiarkan di Indonesia, segala hal yang berkaitan dengan
budaya setempat dipandang kafir dan rendah. Bahkan namanama orang pun diganti
menjadi nama “barat” ketika dibaptis menjadi Kristen maupun Katolik.
Orang-orang Indonesia yang telah memeluk agama Kristen dan Katolik harus
meninggalkan praktik budaya mereka. Umat Kristiani menjadi “imitasi” barat.
Namun, situasi tersebut mulai berubah seiring dengan perkembangan dunia ketika
pemikiran masyarakat mulai berubah. Umumnya orang mulai menyadari pentingnya
membangun iman di tengah realitas budaya setempat. Sebelum kekristenan datang
ke Indonesia, masyarakat Indonesia telah hidup dalam kenyataan multikultur
dimana kebiasaan gotong royong atau kerja sama antarmanusia dan kelompok
masyarakat yang berbeda menjadi bagian dari prinsip hidup.
Multikulturalisme adalah cara pandang yang
menjadi ideologi yang harus diperjuangkan dan diwujudkan. Mengapa harus
diperjuangkan? Karena sejarah mencatat terjadi dominasi antarmanusia, suku,
bangsa, budaya maupun geografis. Hal itu melanggar hak asasi manusia dan
demokrasi. Pada pelajaran mengenai HAM kamu telah belajar bahwa manusia
diciptakan Allah sebagai makhluk bermartabat yang bebas dan merdeka. Oleh
karena itu, tidak ada seorang pun yang dapat merendahkan dan menolak keberadaan
sesame karena alasan perbedaan latar belakang. Dalam kehidupan bergereja, acuan
utama bagi multikulturalisme adalah ajaran Alkitab mengenai hukum kasih. Nampaknya
bukan kebetulan ketika peristiwa turunnya Roh Kudus yang kita kenal sebagai
“Pentakosta” terjadi di tengah masyarakat berbagai bangsa yang tengah
berkumpul. Jauh sebelum itu, dalam Perjanjian Lama pun Allah menegaskan bahwa
panggilan Abraham akan menyebabkan seluruh bangsa di muka bumi diberkati. Dalam
Perjaanjian Baru janji itu dipenuhi melalui Yesus Kristus.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang
multikultur, demikian pula gereja- gereja di Indonesia umumnya dibangun
berdasarkan latar belakang suku, budaya, dan geografis yang berbeda-beda.
Berikut ini merupakan fakta bahwa gereja-gereja di Indonesia mewujudkan
mulktikulturalisme meskipun masih ada banyak tantangan yang harus dihadapi
seperti berikut:
(1) Gereja-gereja di Indonesia memiliki anggota yang terbuka dari segi
suku, budaya, bahasa, daerah asal maupun kebangsaan.
(2) Gereja-gereja di Indonesia juga mengadopsi beberapa unsur budaya local
yang di masukkan kedalam liturgi ibadah. Mulai dari lagu, musik ataupun berbagai
kebiasaan dan prinsip hidup lokal dapat diadaptasi dalam rangka memperkaya
pemahaman iman Kristen. Misalnya, mengenai persaudaraan yang rukun dalam budaya
masyarakat suku yang dapat dikembangkan dalam rangka membangun kebersamaan
dalam jemaat sebagaimana ditulis dalam Kitab Kisah Para Rasul.
(3) Berbagai pelayanan gereja ditujukan bagi masyarakat secara umum
tanpa memandang daerah asal, budaya, adat istiadat, kelas sosial, dan agama. Tingkat
kesadaran gereja dalam partisipasi di tengah masyarakat cukup signifikan.
(4) Banyak gereja yang kini melakukan studi-studi kebudayaan untuk
menggali kembali unsur-unsur budaya yang terancam hilang dari masyarakatnya. Misalnya
di NTT ada sebuah lembaga yang bekerja sama dengan gereja melakukan
penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa daerah di hampir seluruh daerah
yang ada di NTT. (5) Gereja-gereja di Indonesia membangun dialog dan kerja sama
dengan umat beragama lain, khususnya di bidang kemanusiaan dan keadilan. Ada
tim advokasi hukum, ada pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan bagi
semua orang tanpa memandang perbedaan, latar belakang budaya maupun agama,
serta kebangsaan maupun kelas sosial.
C. Belajar dari Yesus
Yesus menjadikan multikultur sebagai wacana
perjumpaan antarmanusia yang dapat bergaul dan bekerja sama dalam kasih.
Mengenai sikap Yesus, kita dapat mencatat beberapa pokok pikiran dari Hope
S.Antone dalam kaitannya dengan multikulturalisme. Antara lain:
1. Kesetiaan Yesus
ditujukan kepada Allah bukan kepada lembaga maupun praktik agama yang sudah
turun temurun dilaksanakan. Konsekuensi dari sikap itu adalah Ia mengasihi
manusia tanpa kecuali. Kemanusiaan, keadilan dan perdamaian amat penting
bagi-Nya. Itulah cara Yesus memperlihatkan kesetiaan-Nya kepada Allah. Sikap
ini menyebabkan Ia tidak disukai oleh kaum Farisi dan ahli Taurat yang begitu
setia kepada lembaga agamanya melebihi Allah sendiri. Mereka mempraktikkan
tradisi dan hukum agama secara turun-temurun namun lupa untuk mewujudkan hukum
itu dalam kehidupan nyata sebagai umat Allah. Kritik-kritik Yesus amat keras
ditujukan pada mereka. Praktik agama dan ajarannya bukan hanya dipelajari,
dihafal, dan diwujudkan dalam penyembahan namun terutama harus diwujudkan dalam
kehidupan dengan sesama. Itulah sebabnya Kitab Amos (Kitab Amos 5) menulis bahwa
Allah menolak ibadah dan persembahan Israel karena mereka tidak mempraktikkan kebenaran
dan keadilan dalam hidupnya. Ibadah formal, praktik agama itu penting namun
harus berjalan bersama-sama dengan sikap hidup. Ajaran agama harus dipraktikkan
dalam kehidupan nyata.
2. Kasih dan solidaritas Yesus ditujukan bagi semua orang tanpa kecuali, orang
dari berbagai suku, tradisi, budaya bahkan yang tidak mengenal Allah yang
disembah-Nya pun ditolong oleh-Nya. Itulah wujud kesetiaan Yesus pada Allah.
3. Yesus memperkenalkan visi baru mengenai komunitas baru di bawah pemerintahan
Allah. Sebuah komunitas yang melampaui berbagai perbedaan latar belakang.
Sebuah komunitas yang memiliki hubunganhubungan yang baru dimana tidak ada
laki-laki maupun perempuan, budak ataupun orang merdeka, orang Yahudi maupun
Yunani semua orang sama di hadapan Allah dan memiliki tempat yang sangat
penting dalam komunitas baru yang terbentuk karena kedatangan Yesus.
4. Kita juga belajar dari Yesus bahwa walaupun identitas pribadi, rasial,
suku, kelas sosial maupun keagamaan merupakan kenyataan sosiologis, namun yang
lebih penting adalah bagaimana dalam segala perbedaan yang ada, umat manusia
memuliakan Allah dengan melakukan kehendak-Nya.
5. Melakukan
kehendak Allah dapat dilakukan dalam kemitraan dengan orang lain, baik itu
sesama orang Kristen maupun orang lain yang berbeda suku, bangsa, budaya, adat
istiadat, bahasa, kebiasaan, status sosial, maupun agama. Tidak ada seorang
manusia pun yang mampu melakukan berbagai hal sendirian. Dalam segala aspek
kehidupan kita membutuhkan orang lain untuk saling mengisi dan saling membantu.
D. Beberapa Tantangan yang Dihadapi Gereja dalam Mewujudkan
Multikulturalisme
Berikut tantangan gereja yang sering dihadapi
dalam mewujudkan multikulturalisme.
1. Di
kalangan gereja tertentu warisan kolonial yang bersifat anti budaya lokal masih
mempengaruhi gereja dalam mewujudkan multikulturalisme. Oleh karena itu,
dibutuhkan waktu dan pencerahan untuk mengubah pola pikir atau pandangan
gereja-gereja seperti itu.
2.
Berbagai prasangka yang terus dibangun terhadap orang-orang dari kalangan suku,
budaya dan daerah tertentu.
3.
Individualistik. Berbagai tantangan dan beban hidup yang berat menyebabkan
banyak orang lebih mementingkan kepentingan diri sendirimaupun kelompok.
Akibatnya kepentingan orang lain maupun kelompok lain tidak penting lagi.
Namun, pada sisi lain, masyarakat masa kini yang mengglobal memiliki satu
ikatan solidaritas yang diikat oleh media sosial, misalnya twitter, facebook,
instagram dan lain-lain. Masyarakat dunia akan cepat memberi reaksi dan simpati
terhadap peristiwaperistiwa kemanusiaan yang dimuat di Youtube ataupun media
sosial lain.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. Multikulturalisme bukan sekadar pandangan hidup melainkan cita-cita yang harus diperjuangkan demi terwujudnya keadilan dan perdamaian bagi umat manusia. Semua manusia dari berbagai latar belakang ras, suku, bangsa, budaya, kelas sosial, geografis dan agama terpanggil untuk proaktif mewujudkan kehidupan multikulturalisme. Remaja sebagai kelompok masyarakat yang sedang bertumbuh menuju dewasa memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan kehidupan multikulturalisme. Perjuangan itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari iman kepada Allah di dalam Yesus Kristus.
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. Multikulturalisme bukan sekadar pandangan hidup melainkan cita-cita yang harus diperjuangkan demi terwujudnya keadilan dan perdamaian bagi umat manusia. Semua manusia dari berbagai latar belakang ras, suku, bangsa, budaya, kelas sosial, geografis dan agama terpanggil untuk proaktif mewujudkan kehidupan multikulturalisme. Remaja sebagai kelompok masyarakat yang sedang bertumbuh menuju dewasa memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan kehidupan multikulturalisme. Perjuangan itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari iman kepada Allah di dalam Yesus Kristus.
B.
Saran
Makalah atau tulisan ini merupakan hasil karya
tersendiri yang kualitasnya sendiri masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena
penulis memberikan keterbukaan kritikan
dan saran kepada pembaca agar dapat mengembangkan tulisan ini, sehingga kelak
bisa berguna bagi pembaca lainnya,
DAFTAR PUSTAKA
bp.blogspot.com
Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti kelas XII (Buku Kemendikbud)
http://sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/nim/50070218
Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti kelas XII (Buku Kemendikbud)
http://sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/nim/50070218